BUKU TERAMPIL WAWANCARA (R.Fadli )
1. Turuti Kemauan Pendengar
Stasuin radio selayaknya punya kemudahan dan kesederhanaan dalam menuruti apa maunya pendengar. Kalau stasiun radio tidak menyiarkan ,mengulas atau membahas tAopic yang tidak ingin didengar oleh pendengar,maka itu sama saja dengan “menyuruh” pendengar menekan tuner digitalnya dan pindah gelombang.
Sebelum talk show yang membahas topik tertentu diudarakan, akan lebih baik apabila pendengar diberi kesempatan untuk menyampaikan usulan tentang topik bahasanya. Cara lain yang paling mudah untuk mengira-ngira kemauan pendengar adalah dengan membahas topik-topik yang menjadi headline dihalaman pertama surat kabar.
2. Hormati Narasumber
Apapun yang menjadi posisi kita saat mewawancarai narasumber,kita harus tetap memegang etika, yaitu menghargai atau menghormati narasumber tanpa didasari apriori. Pembawa acara harus selalu ”dingin“ dan tetap dalam jalur yang mengarahkan pembicaraan untuk mengetahui jawaban yang sebenarnya.
3. Sejajar dengan Narasumber
Bersikaplah “sejajar”. Artinya berbicara dengan narasumber yang seorang menteri sekalipun tidak perlu mengesankan kita ini ajudan yang sedang menghadap tuannya.
4. Etnos, Pathos, dan logos
Ethos merupakan kredibilitas sumber (source credibility) yang tidak disangsikan lagi. Phathos menunjukan imbauan emosional (emotional appeals), dengan kata-kata yang terpilih,kalimat yang bervariasi, contoh-contoh sejarah yang bervariasi,contoh-contoh sejarah sebagai ilustrasi disertai gaya pengucapan yang kadang-kadang keras mengguntur dan sekali-sekali lembut memelas. Logos menunjukan imbauan logis (logical appeals) yang diketengahkan dalam suatu pidato berdasarkan pemikiran yang mantap.
5. Rumusnya: A + B + C
Rumus A + B = C, atau accuracy + balance = credibility. Akurat disini berarti cepat dan sebenar-benarnya dalam memilih orang (narasumber) yang dimintai komentar, opini,saran dan sebagainya. Balance artinya seimbang. Apabila unsur accuracy balance sudah dilaksanakan, niscaya “nilai” program talk show stasiun radio akan sama dengan kredibel (credibility).
6. Wawancara itu Mengasyikan
Hal penting lain yang patut dimiliki pewawancara adalah kemapuannya untuk “mendengarkan” setiap jaban narasumber . Wawancara itu mengasyikan. Pertama, umumnya pewawancara dan narasumber bukan orang yang saling kenal . Kedua, biarpun tidak kenal sama sekali tapi wawancara radio mampu membalik kenyataan tersebut karena antara pewawancara dengan nara sumber justru dipersepsikan oleh para pendengar sebagai sudah saling kenal dan akrab.
7. Detik-detik sebelum On Air
Sebelum wawancara berlangsung, sebenarnya pewawancara sudah harus melakukan persuasi yang sangat tinggi nilai lobbynya untuk membujuk narasumber supaya mau diwawancarai.
Kalau diurutkan. Detik-detik sebelum on air itu adalah sebagai berikut:
§ Menentukan topik yang akan dibahas
§ Mementukan siapa narasumber yang paling relavan dan kredibel.
§ Mulai mencari data narasumber
§ Segera menelpon
§ Periksa lagi atau konfirmasikan ke narasumber kalau ragu
§ Beri isyarat kepada narasumber bahwa akan segera on air
§ On air. we’re ready
§ Kepada pendengar sampaikan inti masalah yang akan dibahas secara singkat
§ Sebutkan nama dan jabatan narasumber yang siap dihubungi.
§ Sapalah narasumber.
§ Basa-basi greetings.
§ Mulailah dengan pertanyaan awal atau pembuka yang memungkinkan narasuber menjawab dengan mudah sehingga narasumber mersa rileks dan enjoy.
Membaca urut-urutan itu mungkin tak terlalu sulit membayangkan penerapannya pada dasarnya wawancara adalah peristiwa spontan. Dalam wawancara pertanyaan dan jawaban yang diberikan adalah untuk kepentingan para pendengar. Jadi detik-detik sebelum on air itu sangatlah menentukan karena tujuannya mencairkan suasna yang beku yang disebabkan oleh ketegangan narasumber atau juga karena hubungan pewawancara dengan sumber wawancara belum terlampau akrab. Detik-detik sebelum on air jangan disepelekan karena disitulah kita ibaranya sedang membangun “pondasi dasar sebuah bangunan”yang namanya wawancara.
8. Ragam Pertanyaan.
· Pertanyaan terbuka, memberi kesempatan pada narasumber untuk memberikan setiap kemungkinan jawaban.
· Pertanyaan tertutup bersifat sebaliknya, hanya memberikan satu pilihan jawaban dari serangkaian tanggapan.
· Pertanyaan langsung, mengarah langsung pada target, sifatnya segera dan jelas, untuk memperoleh pengungkapan apa yang ingin diketahui.
· Pertanyaan pilihan ganda, menyediakan kemungkinan satu rangkaian jawaban, yang mengurangi kemungkinan jawaban kurang penting dari nara sumberyang berusaha mengelak atau terlalu diplomatis.
· Pertanyaan mengarahkan, mengandung syarat.
· Pertanyaan reflektif yang digunakan untuk mendorong responden agar mau memberikan komentar lebih lanjut.
· Pertanyaan pengandaian yang dapat digunakan untuk mendorong responden berfikir ke depan.
9. Pertanyaan “ nakal “
Pertanyaan menggiring adalah pertanyaan yang secara eksplisit atau implicit menyarankan jawaban yang diinginkan. Lawan dari pertanyaan menggiring adalah pertanyaan netral. Sekali lagi ingat, pertanyaan menggiring, meskipun bisa mempertajam atau mempertegas jawaban nara sumber, memiliki efek negative juga, yakni bisa mengakibatkan nara sumber sewot, bahkan melakukan tindakan yang lebih fatal lagi, yakni memutuskan wawancara secara sepihak.
Apapun dampaknya, wawancara tetap jangan terpengaruh, apalagi lantas mereka rendah diri atau merasa bersalah akibat reaksi nara sumber.
10. Blooper bukan bloon.
Blooper ini sebagai kekeliruan pertanyaan atau pernyataan pewawancara terhadap nara sumber karena ketidak tahuannya, tapi akibatnya rada – rada fatal. Tapi ingat, kekeliruan dalam booper ini dilakukan semata akibat ketidak mengertian yang tidak sengaja, bukan karena bloon ( benar – benar bodoh ).
11. Humor dan celetukan.
Sentuhan humor dan celetukan juga diperlukan dalam wawancara yang sebenarnya tidak lebih dari sekedar pecakapan biasa ( yang terarah ). Humor dalam talk show tidak sekedar membuat nara sumber tertawa sehingga para pendengar menjadi terhibur atau malah ikut tertawa. Tidak se sederhana itu penjabarannya. Talk show pada dasarny adalah show yang diudarakan secara global sebagai hiburan (entertainment).
Kegunaan humor yang lain, selain sebagai bagian penting sebuah pertunjukan wicara, juga berguna untuk menarik perhatian. Hanya saja humor dalam talk show, jangan sekedar dilakukan demi membuat orang tertawa, tapi gunakan humor jika humor itu bisa efektif untuk menyampaikan pesan, atau dengan kata lain, memberikan nilai plus.
Celetukan
Dalam talk show,celetukan perlu ada. Maklum, suatu wawancara memerlukan sesuatu yang “hidup”. tanpa itu wawancara akan terdengar kaku dan seperti sudah diatur. Inilah talk show “terburuk”,karena segalanya sudah diatur. “keburukan” keburukan skenario ini sebenarnya bisa diminimalakan dengan mengikutsertakan partisipasi pendengar untuk aktif menelpon dan bertanya sekritis-kritisnya.
12. “He’eh, He’em, Ya Ya”
Apa kesalahan kecil pewawancara umumnya sewaktu wawancara? Sewaktu narasumber berbicara atau menjawab pertanyaan, pewawancara mengiyakan dengan cara mengeluarkan suara he’eh, he’eh dan he’em atau suara – suara Loh, atau suara – suara yang tidak perlu. Kesalahn kecil lain yang juga sering dilakukan pewancara talk show adalah tidak sering mengulang – ulang nama dan posisi nara sumber. Kesalahan kecil lain adalah kesalahan yang biasanya terjadi diawal wawancara,yang bisa mengakibatkan rasa gerogi langsung timbul, dan ditelinga pendengar kredibilitas anda jatuh.
13. Mengakhiri Wawancara.
Ada beberapa kiat yang bisa dilakukan untuk meng- cut wawancara. Pertama, dengan lugas ingatkan kepada narasumber bahwa waktunya sempit, dan waktu juga memisahkan kita,sehingga wawancara mau tidak mau harus di akhiri.
Kedua, setelah kita umpan nara sumber dengan humor ringan, plesetan, dan hal lain yang mungkin bisa membuat narasumber tertawa kecil atau terbahak – bahak, maka disitulah waktu yang tepat untuk kemudian “mengibarkan bendera finish” wawancara .
Ketiga, sebagai pewawancara kita harus bisa menyetir dimana kira – kira jawaban narasumber yang bisa dijadikan penutup wawancara. Keempat, mengakhiri wawancara dengan menyusul jawaban singkat nara sumber hasil pertanyaan pewawancara yang memang menginginkan jawaban singkat, menegaskan pendapat narasumber.
Kelima, mengakhiri wawancara dengan didahului mencapai kesimpulan singkat ( bersama narasumber) setelah mengkonfirmasikan sebelumnya dengan narasumber. Keenam, setelah narasumber mengucapkan suatu jawaban yang meyakinkan hatinya, segera kutip sebagian, dan akhiri wawacara.
14. Empati dan talk show “ Perang Urat Saraf “
Empati pada dasarnya adalah suatu kemampuan komunikator dalam menempatkan diri seolah – olah dirinya sendiri berperan sebagai komunikan ( gunadi & herfan,1998 ). Dengan pemandu talk show yang pintar memainkan empatinya terhadap narasumber dan keadaan. Jika pemandu talk show pada keberpihakan terhadap satu situasi, satu pihak atau satu kondisi. Apakah siaran talk show yang bersangkutan sudah bisa dikatagorikan sebagai upaya perang urat saraf.
Perang urat saraf pada hakekatnya adalah, suatu metode komunikasi yang secara berencana dan sistematis berupaya mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang atau sekelompok orang dalam ajang kemiliteran.
15. “ Kabar Buruk “ dari Bondan
Bondan Winarno, kolumnis masalah menejemen. Bondan menuding pers kita sekarang ini kebanyakan justru hidup diatas kabar buruk. Kalau tidak, penjualan ecerannya akan jatuh. Sayang, Bondan tak memerinci talk show apa, siapa pewawancara, dan mana pertanyaan – pertanyaan atau bahasan pewawancara yang mengungkapkan kabar buruk.
Pewawancara yang bisa mengungkapkan kabar buruk tidak selamanya seperti anggapan Bondan merasa lebih piawai.anggapan menjadi “benar” manakala “perasaan lebih” tadi muncul dalam diri pewawancara, dan di dalam dirinya ada semacam suara batin yang mengatakan “akulah pewawancara terbaik, yang cukup tau masalah ini”.
16. “ Terus Terang, Parakitri…”
Topik talk show Parakitri adalah “ dalam semalam 800 muslim dibantai”, termasuk wanita – wanita yang diperkosa di jalan – jalan. Sehingga narasumber waktur itu adalah sekretaris MUI. Parakitri memang sengaja tidak mencari jawaban dari pihak Kristen terhadap narasumbernya. Pasalnya, topik bahasan Parakitri sesuai dengan dominasi pilihan pendengar, murni menyangkut dengan pembantaian warga muslim. Dan banyak juga pendengar yang sudah sedemikian sewot dikala itu. Ini sudah bernuansa SARA.
17. Vocal, Fisik, dan Mental
Kriteria vocal mikrofonis mungkin hanya bisa dikira-kira saja pengertiannya. Yaitu,vocal seseorang itu standar, untuk pria umunya agak nge-bass, dan vocal wanita umumnya disuka yang idak terlalu cempreng dan “bulat”. Untuk semuanya disarankan gaya bicaranya tidak dibuat-buat.
Fisik
Rutin berenang,stop smoking seperti yang dikemukakan,Cuma tips kecil dalam mempersiapkan kualitas fisik (agar waktu siaran tak terganggu dengan alasan kesehatan).
Mental
Emosi yang tidak stabil akan mempengaruhi cara berbicara seseorang, sehingga pemantu talk show yang sedang “bermasalah” bakal kesulitan mengendalikan dirinya sendiri. Padahal selama talk show dirinya haris “mengendalikan” narasumber dan “mengendalikan” talk show.
18. Spontan
Berfikir spontan, spontan berfikir…lalu berucap. Itulah “kalimat teori” yang ternyata di studio siaran memang dipraktekkan. Itulah sebabnya ucapan pewawancara atau pemandu acara selalu merupakan sesuatu yang memiliki nilai, “tidak kosong” cenderung berbobot sesuai porsinya.
Jika sudah terlatih berpikir spontan, merangkai kata, menyamung kalimat menjadi relevan dan tidak “kosong” maka dalam setiap wawancara atau talk show, sebagai pemandu atau pewawancara , tidak akan mudah “kehabisan bensin” untuk terus mengajukan pertanyaan. Tentu saja pertanyaan yang bermutu.
19. Analogi tenis untuk Gaya Pewawancara
Seperti yang dituturkan Jim Macnamara (1999:56-61),setiknya ada empat gaya pewawancara. Peratama, gaya “ pemain garis belakang” . kedua,gaya “pemain depan jaring”. Ketiga, pewawancara melakukan pendekatan “bidan”. Keempat, gaya “wawancara penyergapan”.
20. Pelit Ngomong
Narasumber yang pelit ngomong memang sulit diterka, karena pelit ngomong itu sendiri bisa disebabkan berbagai alasan. Di antaranya yang umum adalah nara sumber menyembunyikan sesuatu, rahasia atau kegagalan, atau karena kehati-hatiannya yang berlebihan, sehingga narasumber cenderung ogah-ogahan dalam menjawab pertanyaan.
Resiko paling fatal saat talk show karena mendapat narasumber yang pelit ngomong adalah terjadinya kevakuman pewawancara dan narasumber sama-sama diam selama beberapa detik. Jurus ampuh menghadapi nara sumber yang pelit ngomong adalah dengan mengencarkan pertanyaan yang diajukan. Dengan kata lain, aktivitas bertanya harus dilakukan. Oleh karena itu, jangan pernah menyepelekan daftar atau ponter-pointer pertanyaan. Persiapan pointer-pointer ini akan menjadi “senjata” kita dalam menghadapi narasumber termasuk yang pelit ngomong.
21. Provokator, pendana, titik simpul ?
Seseorang yang bernama Tamrin diberitakan oleh beberapa media dan dituding sebagai provokator. Dari pengalaman tersebut ada baiknya kalau disarankan, pertama, setiap kali talk show diudarakan selalu direkam. Kedua, sebuah stasiun radio idealnya mempunyai kuasa hukum sendiri. Ini memang saran yang cukup asing bahkan mungkin tidak pernah terprogramkan.
Ketiga, ada baiknya stasiun radio mendokumentasikan wawancara-wawancara talk show dengan baik, entah itu transkipnya atau kaset rekamannya, termasuk juga file dari media-media masa cetak yang mengutip hasil wawancara talk show sebuah stasiun radio. Manfaat positif dari dokumentasi ini adalah suatu saat akan selalu ada paparan yang bis dikutip kembali.
22. Tipe-tipe narasumber
Begitu pula dengan narasumber. Ada yang tipenya pas sesuai “selera”, atau bisa kita sebut Mr. Perfect. Biasanya, kalau sudah berhasil mewawancarai Mr. Perfect, kadang saking girangnya kita mau teriak. Ada pula narasumber yang biasa-biasa saja, atau kita sebut Mr. Usual. Disebut begitu karena dua hal. Pertama, meskipun sudah “punya nama” dan pakar dibidangnya atau dalam topik yang sedang dibahas, tapi jawaban yang dia berikan jarang ada yang baru, apalagi yang bombastis. Kedua, narasumbernya “tidak punya nama” tetapi pendapatnya cukup baik. Dalam dunia jurnalistik dikenal istilah Name Make News, nama pembuat berita.
Narasumber tipe Mr. Normative lebih dekat pengertiannya dengan Mr. Usual. Celakanya, kebanyakan Mr Normative ini orang yang “ punya nama”. Talk show radio akan menemui kesulitan besar ( namun bukan yang terbesar) manakala mendapatkan narasumber yang tergulung Mister Bad Temper alias Mr Be Te. Kenapa? Orangnya sama sekali engga bisa diajak mengembangkan topic diskusi. Mr Bete bukannya ( maaf ) bodoh atau tidak paham dengan persoalannya. Tapi dengan kesadarannya, atau bisa juga karena ketakutan dan kecurigaannya, apa yang disampaikannya ya Cuma kata-kata seperti itu tadi.
Tipe yang lain lagi adalah Mr Timer. Sesuai namanya, tuan yang satu ini menentukan sekali panjang pendeknya wawancara.
23. Tipikal dan Kebiasaan Narasumber
Tipikal narasumber yang pernah ditemui tanpa harus menyebutkan nama adalah tipe pendebat. Narasumber ini maunya mengajak pewawancara masuk pancingannya untuk berdebat. Debat kusir, salah-benar, menang-kalah, padahal talk show didengar banyak orang dan “melibatkan” pendengar, bukan Cuma pewawancara dengan narasumber saja.
Narasumber lain ber-Tipe pemanfaat,dan mereka ini pandai betul memanfaatkan waktu on air untuk tangga popularitas serta “pembenaran” bagi dirinya. Tipe komersial, sebelum menghadapi narasumber dengan tipe ini, saya sarankan supaya setiap stasiun radio punya icndera mata atau standarisasi penghargaan khusus kepada mereka, narasumber bertipikal komersial.
24. “ Selamat Pagi Pak Kolonel…l”
Begitulah respons pendengar, cepat, tanggap,kritis, sok pintar (maaf), dan kebanyakan memang egonya besar.apalagi kalau kita melakukan kesalahannya saat on air atau waktu wawancara. Respons balik pendengar pasti bakal lebih keras dari itu, bahkan kadang dibumbui hujatan dan cacian. Kunci paling ampuh untuk menghadapinya adalah bersikap sabar. Mungkin saja pendengar yang kesal tidak Cuma seorang. Tentu masih banyak lagi pendengar yang memiliki opini sama namun tidak menyampaikannya secara langsung ke pewawancara. Maklumlah , heterogenitas pendengar tidak hanya dari segi ekonomi, geografi, dan pendidikan, tetapi juga egoisnya.
Sebenarnya factor kekesalan pendengar seperti kasus ini bisa dihindari dengan terlebih dahulu menjelaskan kepada pendengar, sesaat sebelum wawancara dimulai, bahwa narasumber dari Polri (Kasubditpenum) tersebut sengaja (!) diwawancarai untuk menjelaskan ulang, mengklarifikasi kembali, pernyataan kapolri. Oleh karena itu awalilah pembukaan wawancara anda dengan menjelaskan kenapa “si tidak popular” ini diwawancarai.
25. Pendengar aktif, bantu Talk Show
Banyak kasus yang mengajarkan kepada kita semua sebagai pendengar untuk bersikap langsung memberi tanggapan ( dengan cara menelpon ke studio) kalau ada pembahasan talk show atau pemberitaan apapun dari sebuah stasiun radio yang (kurang diterima), atau mungkin malah yang sangat menarik. Asal perlu diingat, bukan tanggapan berbentuk sikap emosional yang diharapkan oleh setiap pemandu talk show, meskipun pendengar memiliki hak untuk memaki, menghujat, dan sebagainya sebagai suatu bentuk kritikan yang tajam.
26. Guide Sponsor Program
Kepercayaan dari pihak lain dengan menitipkan pesan-pesan demi peningkatan penjualan mereka jelas membawa dampak psikologis tertentu terhadap pemandu talk show. Yaitu, harus lebih ekstra konsisten, berkomitmen dalam bekerja, dan menjaga kualitas program talk show.
Dalam buku Manajemen Detik demi Detik : buku panduan untuk manager radio ( Jackson et al.,1997) dikatakan : pengadaan sponsor adalah bentuk halus dari pengiklanan. Sponsor mengasosiasikan diri dengan program tertentu. Pensponsoran memberi “kepemilikan program kepada pengiklan. Ini sering melibatkan pengumuman jasa baik pada awal maupun akhir program, kadang-kadang keduanya, dan dapat meliputi beberapa iklan yang dimainkan selama berlangsungnya program itu.
27. Lebih Enak Sekarang
Karena melakukan talk show radio itu lebih enak sekarang, justru tanggung jawab pemandu jadi lebih besar. Terutama, karena tidak ada lagi alasan untuk mengatakan kebijakan redaksional direfresi oleh tangan-tangan jahil kekuasaan. Kedua, kebebsan berekreasi dan berekpresi si pemandu harus dengan sendirinya dibatasi juga oleh kebebasan orang lain, dalam hal ini pendengar. Ketiga, penyelenggara talk show sudah seharusnya banting setir dan menjadikan bahasan atau ulasannya menjadi semacam “ pesta rakyat”, dimana public bebas berpendapat, menyatakan opini, dan lain sebagainya, tapi dalam kerangka yang tetap menghormati etika berbicara.